Di suatu sore yang malas, saat matahari Cirebon mulai merunduk ke ufuk, nenek saya biasa duduk di beranda. Di sampingnya, selalu ada satu gelas penuh es batu, basah oleh embun dan di dalamnya, sirup berwarna cerah: Tjampolay.
Bukan sekadar pelepas dahaga.
Tjampolay, katanya, adalah waktu yang bisa diminum.
Setiap tegukan rasa mangga gedongnya mengingatkan pada musim panen pertama, saat ia kecil. Setiap manis lembut pisang susunya membawa cerita tentang pasar pagi, tentang tangan-tangan cekatan yang menakar bahan terbaik.
Waktu berlalu. Beranda itu kini sepi. Tapi warisan itu tetap hidup dalam setetes sirup yang jujur.
Hari ini, di tengah gedung-gedung tinggi dan jalanan sibuk, saya kembali membuka botol Tjampolay. Aroma buah alami menyapa, seperti tangan nenek yang dulu mengelus rambut saya.
Tjampolay bukan hanya minuman.
Ia adalah surat cinta dari masa lalu, yang sampai ke tangan kita tanpa pernah kehilangan rasa.
Tjampolay. Warisan rasa yang tak pernah usang.